Fungsi pengendalian (fungsi controlling) adalah fungsi terakhir dari proses manajemen. Pengendalian ini berkaitan erat sekali dengan fungsi perencanaan dan kedua fungsi ini merupakan hal yang saling mengisi, karena:
- Fungsi pengendalian harus terlebih dahulu direncanakan;
- Pengendalian hanya dapat dilakukan, jika ada perencanaan rencana;
- Pelaksanaan rencana akan baik, jika pengendalian dilakukan secara baik;
- Tujuan baru dapat diketahui tercapai dengan baik atau tidak setelah pengendalian atau pengukuran dilakukan.
Dengan demikian peranan pengendalian sangat menentukan baik/buruknya pelaksanaan suatu rencana. Sebagai bahan perbandingan pengertian fungsi pengendalian (controlling). Berikut beberapa definisi:
Earl P. Strong
Controlling is the process of regulating the various factors in an enterprise according to the requirement of its plans.
Komponen
Komponen Biaya Persediaan
Persoalan utama yang ingin dicapai oleh pengendalian persediaan adalah meminimumkan total biaya operasi perusahaan. Hal ini berkaitan dengan beberapa jumlah komoditas yang harus dipesan dan kapan pemesanan itu harus dilakukan.
Dalam menentukan jumlah yang dipesan pada setiap kali pemesanan, pada dasarnya harus dipertemukan dua titik ekstrim yaitu memesan dalam jumlah yang sebesar-besarnya dan memesan dalam jumlah yang sekecil-kecilnya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jika memesan dalam jumlah yang besar akan memimimumkan biaya pemesanan, besar diskon dan faktor teknologi. Dedangkan jika memesan dalam jumlah sekecil-kecilnya akan meringankan penanganan dan penyimpanan, pajak kepemilikan, bunga pinjaman, asuransi barang dan penyusutan.
Jenis-jenis biaya yang perlu diperhitungkan dalam pengevaluasi persoalan persediaan adalah:
a. Ordering cost dan procurement cost
b. Holding cost atau carryng cost
c. Shortage cost
Ordering dan procurement cost merupakan total biaya pemesanand an pengadaan komoditas hingga siap untuk dipergunakan. Biaya ini berkaitan dengan biaya pengangkutan, pengumpulan, kepemilikan, penyusunan dan penempatan di gudang sampai kepada biaya-biaya manajerial dan klerikal yang berhubungan dengan pemesanan. Total biaya pemesanan dikelompokan menjadi dua, pertama total biaya pemesanan yang bersifat tetap (fixed) yaitu tidak tergantung pada jumlah barang yang dipesan. Kedua, kelompok biaya pemesan yang bersifat berubah-ubah (variavariable) yang tergantung pada jumlah barang yang dipesan. Bagian yang bersidat fixed disebut ordering cost, sedangkan yang bersifat variable disebut procurement cost.
Holding cost atau carryng cost timbul karena perusahaan menyimpan persediaan. Sebagan besar merupakan biaya penyimpanan fisik, pajak, asuransi. Disamping itu ada biaya “opportunity cost” yang peroporsinya cukup besar di banding pajak dan asuransi barang. Hal ini dikarenakan modal yang ada dalam persediaan barang kemungkinan akan lebih menguntungkan bila dibunakan untuk investasi yang lain.
Shortage cost terjadi apabila ada permintaan terhadap barang yang kebetulan sedang tidak tersedia atau stok habis. Untuk barang-barang tertentu yang kebutuhannya tidak mendesak mungkin pelanggan diminta untuk menunggu atau dengan istilah back order. Tetapi untuk barang yang bersifat mendesak atau kebutuhan sehari-hari maka pelanggan tidak akan menunggu dan akan segera mencari dan membeli penggantiannya di tempat lain. Bila hal ini terjadi maka perusahaan akan kehilangan pelanggan.
Seluruh biaya yang diperhitungkan di atas dalam mengevaluasi persediaan (relevant cost) perlu diperhatikan. Sedang unsur overhead tidak diperhitungkan dalam perhitungan biaya persediaan.
Economic Order Quantity (EOQ)
Model Persediaan (inventory model) yang paling sederhana mengandung ciri-ciri sbb;
Barang/bahan mentah yang dipesan dan disimpan hanya satu macam
Kebutuhan/permintaannya per periode diketahui (tertentu)
Barang/mentah yang dipesan segera dapat tersedia dan tidak ada “back order”
Model persediaan yang sederhana memakai parameter sbb;
K = ordering cost per pesanan
A = jumlah barang yang dibutuhkan dalam 1 periode (misalkan 1 tahun)
c = procurement cost per unit barang yang dipesan
h = holding cost per satuan nilai persediaan
T = waktu antara satu pemesanan dengan lainnya
“Tujuan” model ini adalah untuk menentukan jumlah setiap kali pemesanan (Q) sehingga total annual cost dapat di minimumkan.
Total annual cost = Ordering cost + Holding cost + Procurement cost
Secara grafis model persedian yang sederhana tersebut dapat digambarkan sbb;
Contoh soal;
Sebuah toko minuman mampu menjual 5.200 peti bir setiap tahun (Catatan; untuk lebih mudahnya, dianggap bahwa tingkat penjualan bir adalah konstan sepanjang tahun. Setiap peti “menanggung” biaya Rp2 untuk sampai ke gudang. Penyalur meminta bayaran Rp10 untuk pemesanan, tanpa menghitung berapa jumlah yang dipesan. Pesanan segera datang sesaat setelah pemesanan dilakukan. Modal kerja yang dimiliki toko minuman ini semuanya tertanam pada persediaan barang(bir) dan modal ini dipinjam dari bank dengan bunga 10%/tahun selain itu, pemilik toko harus membayarkan atas barang yang disimpannya sebesar 5% dari nilai persediaan rata-rata. Biaya-biaya operrasional lain dalam hal ini bersifat “fixed”, tidak tergantung pada besarnya pesanan. Biaya-biaya adalah dalam ribuan rupiah.
Toko tersebut ingin meninjau kembali apakah kebijaksanaan pesanan 100 peti per minggu selama ini sudah betul atau tidak, ditinjau dari sudut biaya yang relevan.
Penyelesaian;
k = Rp10 per pesanan
A = 5.200 peti per tahun
c = Rp2 per peti
h = Rp0,20 per rupiah nilai bir dalam persediaan.
Catatan tentang holding cost:
Dalam persoalan ini holding cost terdiri dari:
-bunga pinjaman pada bank = 10% = 10%
-asuransi barang(bir) dalam persediaan = 5%
-pajak atas barang (bir) dalam persediaan = 5%
20%
Pada saat ini, setiap minggu dipesan 100 peti bir, dengan dasar perhitungan:
Q = = 100 peti
Total annual relevant cost bila kebijaksanaan ini tetap dipertahankan adalah:
TC = k + hc (
= 10 + (0,20)(2)()
= 520 +20
= 540 rupiah per tahun.
Catatan :
Perlu diperhatikan, annual ordering cost (Rp520) jauh lebih besar daripada annual holding cost (Rp20). Hal ini bertentangan dengan syarat optimalisasi, dimana annual ordering cost sama dengan annual holding cost.
Untuk itu perlu diterapkan Wilson Formula, sbb:
Q* =
=
=
= 509,9 atau 510 peti.
Jarak (jangka waktu) optimal antara 2 pesanan adalah:
T* =
=
= 0,098 tahun
Apabila 1 tahun adalah 365 hari, maka T* adalah 0,098(365) = 36 hari.
Total Annual Relevant Cost adalah:
TC = ()10 + 0,20(2) ()
Catatan:
Ordering cost dan holding cost berbeda 0,04 rupiah semata-mata karena pembulatan yang dilakukan terhadap Q*.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kebijaksanaan persediaan selama ini adalah salah, karena biaya relevan yang timbul jauh lebih besar daripada apabila perusahaan melakukannya secara optimal.
Contoh Soal;
Selain bir, toko di atas juga berdagang anggur (minuman) setiap tahun toko ini hanya mampu menjual 1.000 peti, dengan biaya sampai ke gudang kurang Rp20 per peti. Setiap pesanan dikenakan beban Rp100 untuk sewa truk. Selama ini pesanan dilakukan setiap 3 minggu (lebih kurang 20 hari) sebanyak masing-masing 50 peti. Perusahaan ingin menilai apakah kebijaksanaannya dalam hal ini sudah tepat atau belum, bila holding cost mempunyai unsur-unsur yang sama seperti pada persediaan bir.
Penjelasan:
k = Rp100 per pesanan.
A = 1.000 peti per tahun.
C = Rp20 per peti.
H = Rp0,20 per dolar nilai anggur dalam persediaan.
Bila kebijaksanaan lama tetap digunakan, maka total annual relevant cost yang ditanggung adalah:
TC = k + hc (
= 100) + (0,20)(20)()
= 2.000 + 100
= 2.100 rupiah per tahun.
Bila Wilson formula diterapkan maka akan diteruskan Q* sebagai:
Q* =
=
= 223,6 atau 224 peti.
Jangka waktu optimal (T*) antara dua pemesanan adalah:
T* = =
= 0,224 tahun,
Atau lebih kurang 52 hari.
Total annual relevant cost adalah:
TC = (100 + (0,20)(20) (
= 894,43 rupiah per tahun.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kebijaksanaan untuk rumusan setiap 20 hari selama ini adalah salah, karena total annual relevant cost yang timbulkan lebih besar dari yang optimal.
Titik Pemesanan Kembali dan Persediaan Pengaman (Reorder Point dan Safety Stock)
Saat bilamana pemesanan kembali harus dilakukan aar barang yang dipesan datang tepat pada saat dibutuhkan disebut titik pemesanan kembali (reorder point).
Reorder point ditentukan dengan memperhitungkan 2 variabel yakni “lead time” (L) dan “tingkat kebutuhan per hari(atau perminggu dan lain-lain)” (U). Secara kasar reorder point merupakan hasil kali L dan U ditambah dengan sejumlah tertentu sebagai persediaan pengaman (safety stock).
Jadi:
Reorder point = U x L + safety stock
Besarnya safety stock tergantung pada kebijaksanaan manajemen masing-masing perusahaan, misalnya :
40% dari kebutuhan selama lead time,
Sebesar kebutuhan selama 2 minggu, dan lain-lain.
Contoh Soal 1
Kebutuhan barang per minggu = 100 kg. Lead time (berdasarkan pengamatan) = 3 minggu. Safety stock ditetapkan sebesar 40% dari kebutuhan selama lead time.
Maka:
Reorder point = U x L + safety stock
= 100 x 3 + 40%(100 x 3)
= 300 + 120
= 420 kg
Artinya pemesanan kembali perlu dilakukan pada saat tingkat persediaan barang tersebut mencapai 420 kg.
Contoh Soal 2
Kebutuhan barang per minggu = 100 kg. Lead time (berdasarkan pengamatan) = 3 minggu. Safety stock ditetapkan sebesar kebutuhan selama 2 minggu.
Maka:
Reorder point = U x L + safety stock
= 100 x 3 + (2 x 100)
= 300 + 200
= 500 kg
Artinya pemesanan kembali perlu dilakukan pada saat tingkat persediaan barang tersebut mencapai 500 kg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar