Pages

Tokoh Akhlak Tasawuf Al Ghazali dan Hamzah Fansuri

Sabtu, 03 Desember 2016


 1. Biografi Singkat Al – Ghazali
Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi.
Setelah lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Setelah Imam Haramani Wafat (478 H/1068 M) Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (wafat 485 H/1091 M). Pada tahun 483 H/1090 M ia diangkat oleh Nizam Al-Muluk menjadi guru besar di Universitas. Selama di Baghdad Al-Ghazali menderita keguncangan batin sebagai akibat sikap keragu-raguan akan pencarian kebenaran yang hakiki, kemudian ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran yang hakiki yang selama ini dicarinya, setelah ia memperolehnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil Akhir tahun 505H.
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.

2. AjaranTasawuf-Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b. PandanganAl-Ghazali tentang-As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.

Asal-usul Hamzah Fansuri
Syekh  Hamzah al-Fansuri adalah  seorang  sufi  yang  berani  menyampaikan  pikiran-pikirannya  secara  terus terang  terutama  melalui  tulisan-tulisannya.  Hamzah  Fansuri  sangat  banyak meninggalkan  karya  baik  yang  berbentuk  prosa  maupun  berbentuk  syair-syair sufi. Oleh karena itu tidak berlebihan jika orang menilainya sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan dalam berbagai bidang. Dia berperan sebagai ulama, sufi, sasterawan,  dan  budayawan.  Dia  adalah  peletak  dasar  kesusasteraan  Melayu klasik  tertulis  sehingga  melalui  karyanya  Bahasa  Melayu  dijadikan   bahasa pengantar  dalam  perdagangan  dan  pengembangan  ilmu  pengetahuan.  Bahkan berkat usahanya di  bidang  sastera  Bahasa Melayu  menjadi  bahasa  nomor  empat  di  dunia  Islam pada zamannya setelah Bahasa Arab, Persia, dan Turki.

Menurut  para  ahli  sampai  saat  ini  belum  ditemukan  manuskrip  yang menginformasikan  masa  hidup,  asal  muasal  keluarga,  lingkungan,  pendidikan kunjungan  dan  wafatnya  Hamzah  Fansuri.  Kajian  terbaru  Bargansky diinformasikan bahwa Hamzah Hidup hingga akhir masa pemerintahan  Iskandar Muda (1607-1636M) dan mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan  AlRaniry kedua kalinya ke Aceh pada tahun 1637. Namun  demikian  kebanyakan  para  ahli  memastikan  ia  lahir  di  Barus, belajar  di  sana,  lalu  mengembara  dan  kemudian  pergi  ke  Kerajaan  Aceh Darussalam  dan  menjadi  pemuka  agama  di  sana,  mendampingi  raja  yang berkuasa. Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri‟ayat Syah (1588-1604) sampai awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Al Attas  menduga  bahwa  Hamzah  Fansuri  meninggal  sebelum  tahun  1607.
Pendapatnya  ini  berdasarkan  pada  sebuah  syair  pendek  yang  berjudul  Ikatan ikatan ‘Ilmu al-Nisa’.

Nama  Fansuri  sebagai  laqab  yang  dilekatkan  di  belakang  namanya memperkuat  dugaan  ini.  Ini  juga  didukung  oleh  beberapa  penelitian  para  ahli hingga dapat dipastikan bahwa Hamzah berasal dari Fansur, daerah Barus,  sebuah kota  kecil  yang  terletak  di  Barat  Daya  Aceh,  tepatnya  di  antara  Sibolga  dan Singkil. Bukan hanya dilahirkan di sana ia juga  meninggal di desa tersebut dan kuburannya  masih  ada  sampai  saat  ini  dan  dihormati  oleh  penduduk  setempat.

Dari  Syair  di  atas  juga  mengundang  pendapat  berbeda  di  mana  beberapa  ahli meragukan Hamzah berasal dari Fansur tetapi ia lahir di Shahr Nawi.Barus merupakan sebuah kerajaan yang berdiri di bagian Barat Sumatera. Kerajaan ini terkenal dengan hasil bumi yang melimpah, khususnya kapur barus. Barus  juga  dikenal  dengan  nama  Panchur  atau  Pansur.  Orang  Gujarat,  Persia, Arab, Keling, dan Bengali menyebutnya Panchur. Ia berbatasan dengan Tiku dan Kerajaan Singkil. Pedalaman daerah ini berhubungan dengan Minangkabau. Tepat di  hadapannya  di  tengah  laut  terdapat  Pulau  Nias.  Pelabuhan  ini  merupakan tempat berlangsungnya transaksi penjualan emas, sutera, benzoit, barus,  madu dan barang  niaga  lainnya.  Komoditas  ini  banyak  terdapat  di  sana  sehingga  banyak pedagang berkumpul di sana.

Popularitas Hamzah Fansuri disebabkan kealiman dan ketinggian ilmunya di  bidang  tasawuf.  Usahanya  dalam  menulis  puisi-puisi  sufi,   menjadikan  ia terkenal  di  Nusantara  dan  Bahasa  Melayu  yang  digunakan  dalam  syairnya menjadi  bahasa  pengantar  dalam  perdagangan,  pemerintahan  dan  ilmu pengetahuan.  Bahkan  puisi-puisi  spiritual  modern  yang  lahir  setelahnya  di Nusantara terinspirasi dari karya-karya Hamzah Fansuri.

Pandangan Tasawuf Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dikategorikan dalam arus pemikiran  sufistik  keagamaan  yang  sama.  Keduanya  merupakan  tokoh  utama penafsiran sufisme wahdat al-wujud yang bersifat sufistik-filosofis. Secara khusus ia dipengaruhi oleh  Ibnu Arabi dan al-Jilli.

Gagasan monistik Hamzah Fansuri diperluas dan membentuk inti pokok ajaran dan tulisan Syamsuddin al-Sumaterani yang  menjadi  Syaikh  al-Islam,  selama  masa  pemerintahan Iskandar  Muda. Hamzah  sendiri  semula  masuk  anggota  tarekat  Qadiriyah  di  Arabiya  yang kemudian diikuti oleh banyak sarjana di Melayu-Indonesia.

Hamzah  Fansuri  langsung  mengaitkan  dirinya  dengan  ajaran  para  sufi Arab  dan  Persia  lainnya  yaitu  Abu  Yazid  al-Busthami,  Mansur  al-Hallaj, Fariduddin „Attar, Junayd al-Baghdadi, Ahmad al-Ghazali, Jalal al-Din al-Rumi, al-Maghribi,  Mahmud  Shabistari,  al-„Iraqi  dan  al-Jami.  Di  antara  mereka  alBusthami dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah Fansuri dalam hal cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibn „Arabi dan al-„Iraqi untuk menopang pemikiran tasawufnya.

Pokok  pemikiran  Hamzah  yang  paling  dikenal  adalah  wujudiyah.
Wujudiyah adalah suatu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi  yang  memandang  bahwa  alam  adalah  penampakan  (tajalli)  Tuhan, yang  berarti bahwa  yang  ada  hanya  satu  wujud,  yaitu  wujud  Tuhan,  yang diciptakan  Tuhan (termasuk  alam  dan  segala  isinya)  pada  hakekatnya  tidak mempunyai wujud. Paham ini mendapat tantangan keras dari Nuruddin Ar-Raniry karena  menurutnya  membawa  kepada pemahaman  bahwa  alam  sama  dengan Tuhan (pantheisme).

Hamzah  Fansuri  dipandang  sebagai  kaum  sufi  wujudiyah  (gagasan panteistik  tentang  Tuhan)  yang  berbeda  dengan  kaum  sufi  ortodoks  dan  praktik sufistik  kaum  muslim  umumnya.  Gagasan  sufistik  Hamzah  Fansuri  lebih menekankan  pada  sifat  imanensi Tuhan  dalam  makhluk-Nya  daripada  sifat transendensi-Nya.
Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut:
1.  Pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam
2.  Tajalli  alam  dari  zat  dan  wujud  Tuhan  pada  tataran  awal  adalah  Nur
Muhammad yang pada hakekatnya adalah Nur Tuhan.
3.  Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah  (ciptaan Tuhan ), yang
pada hakekatnya khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
4.  Manusia  sebagai  mikrokosmos  harus  berusaha  mencapai  kebersamaan
dengan  Tuhan  dengan  jalan  tark  al-dunya,  yaitu  menghilangkan
keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan kerinduan kepada mati.
5.  Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang berilmu sempurna
6.  Manusia  yang  berhasil  mencapai  kebersamaan  dengan  Tuhan  adalah
manusia yang telah mencapai  ma’rifat  yang sebenar-benarnya, yang telah
berhasil mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi Allah).

Konsep-konsep seperti itulah yang membuat lawan-lawan Hamzah Fansuri menuduhnya  dan  pengikutnya  sebagai  kaum  panteis,  dan  karenanya  telah menyimpang  dan  sesat  dari Islam  yang  sebenarnya.  Oleh  karena  itu  ajaran  dan doktrin Hamzah Fansuri sering dianggap sebagai ajaran sufistik  bid’ah  atau sesat (heterodoks)  yang  bertentangan  dengan  ajaran  dan  doktrin  kaum  sufi  sunni (ortodoks).

Terdapat asumsi bahwa Islam sufistik terutama  wujudiyah  Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani tidak hanya tersebar di lingkungan istana Aceh, tetapi juga berkembang di berbagai daerah Nusantara.Doktrin  dan  praktik  sufistik-filosofis  wujudiyah  Hamzah  Fansuri mendapat  oposisi  kuat  dari  Nur  al-Din  Muhammad  bin Ali  bin  Hasanji  alHumaidi  al-„Aidarusi,  yang  lebih  dikenal  dengan  al-Raniri  (w.1068H/1658M).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS